Majapahit: Imperium Gemilang, Mengukir Sejarah sebagai Penguasa Asia
Di jantung kepulauan Nusantara, sebuah kerajaan bangkit dari abu kehancuran, tumbuh menjadi kekuatan maritim raksasa yang tidak hanya mendominasi Asia Tenggara tetapi juga mengukir jejak pengaruhnya hingga ke pelosok benua Asia. Kerajaan Majapahit, dengan ibu kotanya yang megah di Trowulan, Jawa Timur, adalah puncak peradaban Hindu-Buddha di Indonesia, sebuah imperium yang melambangkan kejayaan politik, ekonomi, dan budaya yang tiada tara. Kisahnya adalah epik tentang kecerdasan strategis, ambisi tak terbatas, dan warisan abadi yang masih terasa hingga hari ini.
I. Awal Mula dan Fondasi Strategis: Lahirnya Sang Penguasa
Kisah Majapahit bermula dari gejolak politik akhir abad ke-13, tepatnya pada masa keruntuhan Kerajaan Singasari. Raja Kertanegara dari Singasari, seorang pemimpin visioner yang berambisi menyatukan Nusantara di bawah panjinya, tewas dalam sebuah kudeta yang dilancarkan oleh Jayakatwang dari Kediri pada tahun 1292. Namun, di tengah kekacauan itu, muncul seorang menantu Kertanegara yang cerdik dan ambisius: Raden Wijaya.
Raden Wijaya, dengan kelicikan politik yang luar biasa, berhasil memanfaatkan situasi genting tersebut. Ketika pasukan Mongol di bawah perintah Kubilai Khan mendarat di Jawa pada tahun 1293 dengan tujuan menghukum Kertanegara yang menolak tunduk, Raden Wijaya melihat peluang emas. Ia berpura-pura setia kepada Jayakatwang dan meminta bantuan pasukan Mongol untuk menggulingkan penguasa Kediri tersebut. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan, Raden Wijaya dengan cepat berbalik menyerang pasukan Mongol yang lelah, mengusir mereka dari Jawa, dan memproklamirkan berdirinya Kerajaan Majapahit pada tanggal 10 November 1293. Penamaan "Majapahit" sendiri konon berasal dari buah maja yang pahit yang banyak tumbuh di daerah hutan tempat ia mendirikan permukiman awal.
Empat belas tahun pertama pemerintahan Raden Wijaya diwarnai oleh tantangan internal dan pemberontakan dari para pengikut setianya sendiri yang merasa tidak puas. Namun, dengan kepemimpinan yang tegas dan dukungan dari para abdi dalem yang cakap seperti Arya Wiraraja, ia berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya. Fondasi yang kokoh ini menjadi landasan bagi Majapahit untuk bertransformasi dari sebuah kerajaan baru menjadi kekuatan regional yang disegani.
II. Era Keemasan: Sumpah Palapa dan Hegemoni Nusantara
Puncak kejayaan Majapahit tidak terlepas dari peran dua tokoh legendaris: Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Era keemasan ini dimulai pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, putri Raden Wijaya, yang naik takhta pada tahun 1328. Dialah yang menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1334.
Gajah Mada adalah seorang negarawan, ahli strategi militer, dan diplomat ulung yang dikenal dengan Sumpah Palapa. Diucapkan pada upacara pelantikannya, Gajah Mada bersumpah untuk tidak menikmati rempah-rempah (palapa) sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Sumpah ini bukan sekadar janji pribadi, melainkan deklarasi ambisi politik dan cetak biru ekspansi Majapahit.
Ketika Hayam Wuruk, cucu Raden Wijaya, naik takhta pada tahun 1350, Majapahit telah memiliki dasar yang kuat untuk mencapai cita-cita Sumpah Palapa. Bersama Gajah Mada, Hayam Wuruk membawa Majapahit ke puncak kekuasaan dan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kitab Negarakertagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, memberikan gambaran terperinci tentang luasnya wilayah pengaruh Majapahit pada masa ini.
Menurut Negarakertagama, wilayah Majapahit membentang dari Sumatera hingga Papua, mencakup Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian Filipina. Penting untuk dicatat bahwa "penyatuan" di sini tidak selalu berarti kendali langsung secara administratif atas seluruh wilayah tersebut, melainkan lebih pada sistem hubungan vasal dan aliansi dagang. Kerajaan-kerajaan di wilayah-wilayah ini mengakui kedaulatan Majapahit, membayar upeti, dan berpartisipasi dalam jaringan perdagangan yang dikendalikan oleh Majapahit. Inilah yang menjadikan Majapahit sebagai sebuah thalassocracy (kerajaan maritim), kekuatan yang menguasai lautan dan jalur perdagangan.
III. Struktur Kekuasaan dan Pemerintahan yang Canggih
Majapahit memiliki sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik untuk mengelola wilayahnya yang luas. Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai penjelmaan dewa di bumi (konsep dewaraja). Di bawah raja terdapat dewan penasihat yang terdiri dari para Rakryan Mahapatih (seperti Gajah Mada), Rakryan Mantri, dan pejabat tinggi lainnya.
Pemerintahan Majapahit juga menunjukkan toleransi beragama yang luar biasa, terutama antara penganut Hindu Siwa dan Buddha. Konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran yang mendua) yang termaktub dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, menjadi bukti filosofi ini. Ada dua pejabat tinggi yang mengawasi urusan keagamaan: Dharma Adhyaksa ring Kasaiwan (untuk Hindu Siwa) dan Dharma Adhyaksa ring Kasogatan (untuk Buddha).
Wilayah kekuasaan dibagi menjadi beberapa tingkatan:
- Negara Agung: Wilayah inti di sekitar ibu kota, dikelola langsung oleh raja dan keluarga kerajaan.
- Nagara: Wilayah provinsi yang diperintah oleh para Bhre (pangeran atau putri kerajaan).
- Watek: Distrik yang dikepalai oleh Akuwu.
- Wanua: Desa yang dipimpin oleh Rama.
Sistem hukum yang berlaku di Majapahit dikenal sebagai Kutaramanawa, sebuah kodifikasi hukum yang mencerminkan kebijaksanaan dan keadilan dalam masyarakat.
IV. Jaringan Ekonomi Maritim dan Pengaruh di Asia
Klaim Majapahit sebagai "penguasa Asia" paling tepat diinterpretasikan melalui lensa kekuatan maritim dan ekonomi yang luar biasa. Lokasi geografis Majapahit yang strategis di tengah jalur perdagangan rempah-rempah antara Tiongkok, India, dan Timur Tengah memberinya keuntungan besar.
Ekonomi Majapahit berbasis pada kombinasi pertanian sawah yang subur di lembah-lembah Jawa Timur, dengan komoditas utama beras, dan perdagangan maritim internasional. Pelabuhan-pelabuhan Majapahit menjadi pusat aktivitas ekonomi yang ramai, tempat bertemunya pedagang dari berbagai penjuru dunia. Komoditas yang diperdagangkan meliputi rempah-rempah (cengkeh, pala, lada), emas, perak, permata, tekstil, keramik dari Tiongkok, dan hasil hutan lainnya.
Melalui jaringan perdagangan ini, pengaruh Majapahit tidak hanya terbatas pada Asia Tenggara. Pedagang-pedagang Majapahit menjalin hubungan dengan Dinasti Yuan dan Ming di Tiongkok, kerajaan-kerajaan di India, Persia, bahkan hingga ke Afrika Timur. Koin-koin Majapahit ditemukan di berbagai situs arkeologi di Asia Tenggara, menunjukkan luasnya jangkauan ekonomi mereka. Kapal-kapal besar Majapahit, yang dikenal sebagai jong, adalah armada dagang dan militer yang tangguh, mampu mengarungi samudra dan mengamankan jalur pelayaran dari ancaman bajak laut. Kontrol atas jalur-jalur vital ini memungkinkan Majapahit untuk memungut bea cukai, mengamankan pasokan barang, dan pada akhirnya memproyeksikan kekuasaan ekonominya melintasi benua.
V. Warisan Kebudayaan dan Intelektual
Selain kejayaan politik dan ekonomi, Majapahit juga merupakan pusat kebudayaan dan intelektual yang cemerlang. Sinkretisme Hindu-Buddha melahirkan gaya seni dan arsitektur yang unik, terlihat pada candi-candi seperti Candi Penataran di Blitar, atau situs-situs di Trowulan yang menjadi ibu kota Majapahit. Kompleks Trowulan, dengan struktur batu bata merahnya yang khas, menunjukkan kemajuan teknologi dan estetika pada masanya.
Kesusastraan Majapahit juga mencapai puncaknya. Selain Negarakertagama dan Sutasoma, karya-karya penting lainnya seperti Arjunawiwaha, Bharatayuddha, dan Smaradahana menggambarkan kekayaan bahasa Kawi dan kedalaman pemikiran filosofis masyarakat. Karya-karya ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai medium penyebaran nilai-nilai moral dan spiritual.
VI. Kemunduran dan Keruntuhan: Senja Sang Imperium
Setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364 dan Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit mulai memasuki fase kemunduran. Tidak adanya pemimpin sekuat keduanya menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan internal. Perang saudara yang paling terkenal adalah Perang Paregreg (1404-1406) antara Bhre Wirabhumi (penguasa Blambangan) dan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk). Perang ini melemahkan Majapahit secara signifikan, menguras sumber daya, dan memecah belah persatuan.
Pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan baru mulai bangkit di pesisir utara Jawa. Kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, yang didirikan oleh keturunan Majapahit sendiri, mulai berkembang pesat berkat dukungan dari jaringan perdagangan Muslim yang semakin kuat. Kerajaan-kerajaan vasal Majapahit satu per satu melepaskan diri dan menyatakan kemerdekaan.
Tekanan dari luar dan konflik internal terus menggerogoti Majapahit. Meskipun tanggal pasti keruntuhannya masih diperdebatkan oleh para sejarawan (ada yang menyebut 1478 dengan runtuhnya ibu kota oleh Girindrawardhana, ada pula yang menyebut awal abad ke-16 dengan munculnya Kesultanan Demak), yang jelas adalah bahwa pada awal abad ke-16, Majapahit telah kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya sebagai imperium besar. Banyak bangsawan Majapahit yang menolak masuk Islam menyingkir ke timur Jawa dan Bali, membawa serta tradisi dan kebudayaan Hindu-Buddha yang masih lestari hingga kini.
VII. Warisan Abadi: Inspirasi bagi Indonesia
Meskipun telah runtuh, warisan Majapahit tak pernah pudar. Konsep "Nusantara" yang dicetuskan Gajah Mada telah menjadi landasan geografis dan ideologis bagi negara kesatuan Republik Indonesia modern. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diadaptasi dari Kitab Sutasoma, menjadi pilar utama toleransi dan persatuan dalam keberagaman bangsa.
Majapahit mengajarkan pentingnya kekuatan maritim sebagai tulang punggung ekonomi dan pertahanan negara kepulauan. Kisahnya adalah inspirasi bagi nasionalisme Indonesia, sebuah bukti bahwa bangsa ini pernah memiliki imperium besar yang mampu menyatukan berbagai suku bangsa dan mengukir pengaruh di kancah global.
Sebagai "penguasa Asia" dalam konteksnya, Majapahit bukanlah sebuah kekaisaran daratan yang menaklukkan seluruh benua, melainkan sebuah thalassocracy yang gemilang. Dengan mengendalikan jalur-jalur perdagangan vital di Asia Tenggara, memungut upeti dari kerajaan-kerajaan vasal, dan menjalin hubungan diplomatik serta ekonomi yang luas, Majapahit mampu memproyeksikan kekuasaannya hingga melampaui batas-batas kepulauan, menjadikannya salah satu kekuatan paling dominan dan berpengaruh di kawasan Asia pada masanya. Kejayaan Majapahit adalah pengingat akan potensi besar bangsa Indonesia dan kekayaan sejarah yang membentuk identitasnya.