Mengucapkan Selamat kepada Umat Agama Lain: Tinjauan Fiqih, Toleransi, dan Harmoni Beragama dalam Islam
Pertanyaan seputar hukum mengucapkan selamat hari raya atau acara keagamaan kepada umat agama lain merupakan salah satu isu yang kerap muncul dan memicu perdebatan di tengah masyarakat Muslim, khususnya di negara-majemuk seperti Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya melibatkan aspek fiqih semata, tetapi juga menyentuh dimensi toleransi, kerukunan sosial, dan representasi citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai pandangan ulama, dalil-dalil yang digunakan, serta konteks sosial-keagamaan yang relevan, guna memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.
Pendahuluan: Kompleksitas Isu dan Urgensi Pemahaman
Di tengah kehidupan sosial yang semakin interaktif dan global, interaksi antarumat beragama menjadi sebuah keniscayaan. Ucapan selamat, baik dalam konteks hari raya Idul Fitri maupun Natal, Nyepi, Waisak, Diwali, dan lain sebagainya, seringkali dianggap sebagai bentuk basa-basi sosial, penghormatan, atau ekspresi persahabatan. Namun, bagi sebagian umat Muslim, tindakan ini menjadi pertanyaan besar: apakah mengucapkan selamat kepada non-Muslim dalam konteks perayaan keagamaan mereka diperbolehkan, atau justru termasuk perbuatan yang dilarang (haram) dalam syariat Islam?
Kekhawatiran utama yang melatarbelakangi pertanyaan ini adalah kekhawatiran akan tergerusnya akidah (keyakinan) seorang Muslim jika ia turut "merayakan" atau "mengakui" keabsahan ajaran agama lain. Di sisi lain, menolak mengucapkan selamat sama sekali seringkali dianggap sebagai sikap intoleran, yang dapat merusak hubungan baik antarumat beragama dan bertentangan dengan semangat persaudaraan kemanusiaan.
Untuk memahami isu ini secara mendalam, kita perlu meninjau dari berbagai perspektif, mulai dari dasar-dasar syariat Islam, pandangan para ulama dari berbagai mazhab dan generasi, hingga pertimbangan kemaslahatan umum.
Dasar-Dasar Toleransi dan Interaksi Sosial dalam Islam
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi (tasamuh) dan keadilan dalam berinteraksi dengan siapa pun, termasuk non-Muslim. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan panduan yang jelas mengenai hal ini:
-
Surah Al-Mumtahanah ayat 8-9:
Allah SWT berfirman:
"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim."
Ayat ini secara eksplisit membolehkan bahkan menganjurkan berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim yang tidak memusuhi atau memerangi umat Islam. Ucapan selamat dapat termasuk dalam kategori "berbuat baik" (birr) ini. -
Surah Al-Kafirun ayat 6:
"Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."
Ayat ini seringkali dikutip untuk menunjukkan batas pemisah antara keyakinan. Namun, pemahaman yang lebih luas adalah bahwa ayat ini menegaskan perbedaan akidah dan tidak ada paksaan dalam beragama, bukan berarti tidak boleh berinteraksi atau berbuat baik dalam aspek muamalah (interaksi sosial). -
Surah Al-Baqarah ayat 256:
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat."
Ayat ini menekankan prinsip kebebasan beragama dan tidak adanya paksaan, yang menjadi landasan toleransi Islam. -
Tuntunan Nabi Muhammad SAW:
Rasulullah SAW sendiri menunjukkan teladan berinteraksi secara baik dengan non-Muslim. Beliau pernah mengunjungi orang Yahudi yang sakit, menerima hadiah dari non-Muslim, bahkan mengadakan perjanjian dengan mereka. Ini menunjukkan bahwa interaksi sosial yang baik dengan non-Muslim adalah bagian dari ajaran Islam, selama tidak mengkompromikan akidah.
Dari dasar-dasar ini, dapat dipahami bahwa Islam membedakan antara masalah akidah (keyakinan fundamental) dan muamalah (interaksi sosial). Dalam akidah, umat Islam tidak boleh mencampuradukkan atau menyetujui keyakinan agama lain. Namun, dalam muamalah, Islam menganjurkan kebaikan, keadilan, dan menjaga hubungan baik, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Dua Pandangan Utama Ulama Mengenai Hukum Mengucapkan Selamat
Dalam isu mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim, ulama terbagi menjadi dua pandangan besar:
Pandangan Pertama: Melarang atau Mengharamkan
Pandangan ini dipegang oleh sebagian ulama klasik dan kontemporer, yang menganggap mengucapkan selamat hari raya non-Muslim sebagai perbuatan haram. Di antara ulama yang terkenal dengan pandangan ini adalah Imam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Dalil dan Argumentasi:
- Pengagungan Syiar Kekufuran: Mereka berpendapat bahwa mengucapkan selamat berarti turut mengagungkan syiar-syiar kekufuran atau praktik keagamaan yang bertentangan dengan tauhid Islam. Misalnya, mengucapkan selamat Natal dianggap seolah-olah menyetujui keyakinan Trinitas atau kelahiran Tuhan.
- Tasyabbuh (Menyerupai): Ulama yang berpandangan ini mengkhawatirkan tasyabbuh, yaitu meniru atau menyerupai kebiasaan atau perayaan non-Muslim, yang dilarang dalam hadis Nabi SAW: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Daud). Mereka menafsirkan hadis ini secara luas hingga mencakup ucapan selamat.
- Melindungi Akidah: Tujuan utama pandangan ini adalah untuk menjaga kemurnian akidah seorang Muslim agar tidak tercampur dengan keyakinan lain. Mereka khawatir bahwa ucapan selamat dapat menjadi pintu gerbang bagi seorang Muslim untuk meragukan kebenaran agamanya sendiri atau menganggap benar agama lain.
- Ijma’ Sahabat (Klaim Konsensus Sahabat): Beberapa ulama yang berpendapat ini mengklaim bahwa ada konsensus di kalangan sahabat Nabi yang melarang ucapan selamat ini. Namun, klaim ijma’ ini perlu ditinjau ulang karena tidak ada dalil shahih yang secara eksplisit menunjukkan larangan dari Nabi atau para sahabat terkait ucapan selamat.
Contoh Fatwa:
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ahkam Ahl adz-Dzimmah menyatakan: "Adapun mengucapkan selamat atas syiar-syiar kekafiran yang khusus bagi mereka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ulama."
Pandangan Kedua: Membolehkan atau Mubah (Boleh)
Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ulama kontemporer dan beberapa ulama klasik, termasuk banyak lembaga fatwa di dunia Islam, dengan syarat-syarat tertentu. Di antara ulama yang masyhur dengan pandangan ini adalah Syekh Yusuf al-Qaradawi, Syekh Mustafa az-Zarqa, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalil dan Argumentasi:
- Perbedaan Akidah dan Muamalah: Mereka membedakan secara tegas antara masalah akidah dan muamalah. Ucapan selamat dianggap sebagai bagian dari muamalah yang bertujuan menjaga hubungan baik, bukan pengakuan terhadap keyakinan agama lain. Seorang Muslim yang mengucapkan selamat tidak serta-merta mengimani ajaran agama yang ia ucapkan selamatnya.
- Dakwah Bil Hal (Dakwah dengan Perilaku): Mengucapkan selamat dapat menjadi sarana dakwah bil hal, yaitu menunjukkan keindahan Islam yang toleran, ramah, dan menghargai. Sikap positif ini dapat membuka hati non-Muslim untuk mengenal Islam lebih jauh.
- Prinsip Kebaikan dan Keadilan: Mengacu pada Surah Al-Mumtahanah ayat 8, berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memusuhi adalah dianjurkan. Ucapan selamat dapat termasuk dalam kategori "berbuat baik" ini.
- Menjaga Kerukunan Sosial: Di masyarakat majemuk, menjaga kerukunan adalah kemaslahatan yang sangat penting. Menolak mengucapkan selamat tanpa alasan syar’i yang kuat dapat menimbulkan prasangka negatif, merenggangkan hubungan, dan bahkan memicu konflik.
- Niat dan Konteks: Hukum suatu perbuatan sangat bergantung pada niat pelakunya. Jika niatnya adalah untuk menjalin silaturahmi, menghormati sebagai sesama manusia, atau menjaga kerukunan, tanpa ada niat mengagungkan atau meyakini ajaran mereka, maka hukumnya boleh.
- Ketiadaan Larangan Eksplisit: Tidak ada dalil shahih dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi yang secara eksplisit melarang mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim. Larangan yang dikemukakan oleh pandangan pertama lebih merupakan interpretasi dan kekhawatiran semata.
Syarat-syarat Kebolehan:
Ulama yang membolehkan biasanya memberikan beberapa syarat:
- Tidak melibatkan diri dalam ritual keagamaan mereka (misalnya, tidak ikut beribadah di gereja saat Natal).
- Tidak memakai atribut keagamaan mereka (misalnya, topi Santa Claus).
- Tidak mengorbankan akidah Islam (tidak meyakini kebenaran agama mereka).
- Tidak ada unsur pengagungan terhadap kekufuran.
Contoh Fatwa:
Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam fatwanya menyatakan: "Ucapan selamat kepada non-Muslim pada hari raya mereka, jika niatnya adalah sebagai bentuk kebaikan, keramahan, dan upaya mendekatkan diri, serta diharapkan dapat melunakkan hati mereka kepada Islam, maka itu diperbolehkan dalam Islam."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam salah satu fatwanya (Fatwa No. 5/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Perayaan Natal Bersama) memang melarang umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, namun fatwa ini khusus mengenai partisipasi aktif dalam ritual keagamaan, bukan larangan mutlak terhadap ucapan selamat sebagai bentuk interaksi sosial. Dalam konteks yang lebih luas, banyak ulama MUI yang membolehkan ucapan selamat dengan batasan-batasan yang telah disebutkan. Bahkan, secara praktis, banyak tokoh MUI dan ormas Islam yang mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain.
Membedakan antara "Mengucapkan Selamat" dan "Merayakan"
Penting untuk membuat distingsi yang jelas antara "mengucapkan selamat" dan "merayakan" atau "berpartisipasi aktif" dalam ritual keagamaan non-Muslim.
- Mengucapkan Selamat: Ini adalah bentuk komunikasi verbal atau non-verbal yang menunjukkan penghormatan, keramahan, dan apresiasi terhadap momen penting bagi orang lain. Niatnya adalah menjaga hubungan baik dan menunjukkan kepedulian sosial.
- Merayakan/Berpartisipasi Aktif: Ini berarti ikut serta dalam ritual, ibadah, atau kegiatan inti dari perayaan tersebut, yang bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan atau persetujuan terhadap ajaran agama yang bersangkutan. Ini yang umumnya dilarang oleh sebagian besar ulama karena berpotensi mengikis akidah.
Seorang Muslim bisa mengucapkan "Selamat Natal" tanpa harus ikut Misa di gereja, atau mengucapkan "Selamat Nyepi" tanpa harus ikut berdiam diri seharian di rumah.
Konteks Indonesia: Harmoni Beragama dan Pancasila
Di Indonesia, negara yang menjunjung tinggi Pancasila dengan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Persatuan Indonesia," menjaga kerukunan antarumat beragama adalah keniscayaan dan kewajiban setiap warga negara. Sikap toleran, saling menghormati, dan berinteraksi secara positif adalah kunci stabilitas sosial.
Dalam konteks ini, ucapan selamat hari raya kepada non-Muslim seringkali dianggap sebagai bentuk konkret dari toleransi dan perwujudan nilai-nilai Pancasila. Menolak mengucapkan selamat secara kaku bisa menimbulkan persepsi negatif terhadap Islam, padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Oleh karena itu, banyak ulama dan organisasi Islam di Indonesia cenderung pada pandangan yang membolehkan ucapan selamat dengan batasan yang telah dijelaskan, demi kemaslahatan umum dan menjaga keutuhan bangsa.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Setelah meninjau berbagai pandangan dan dalil, dapat disimpulkan bahwa isu hukum mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Namun, pandangan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu memiliki dasar yang kuat dari segi dalil, konteks sosial, dan prinsip-prinsip syariat Islam yang mengedepankan toleransi dan kemaslahatan.
Rekomendasi:
- Prioritaskan Niat: Jika niat mengucapkan selamat adalah untuk menjaga silaturahmi, menunjukkan keramahan, dan memupuk kerukunan antarumat beragama, tanpa ada niat mengagungkan atau menyetujui ajaran agama lain, maka hukumnya cenderung boleh (mubah).
- Jaga Batasan Akidah: Seorang Muslim harus senantiasa menjaga akidahnya dan tidak ikut serta dalam ritual keagamaan non-Muslim atau mengenakan atribut keagamaan mereka.
- Pahami Konteks Sosial: Di masyarakat majemuk seperti Indonesia, sikap toleran dan interaktif yang positif sangat diperlukan untuk menjaga harmoni sosial dan keutuhan bangsa.
- Bijak dalam Menyikapi Perbedaan: Menghormati perbedaan pandangan di kalangan ulama adalah penting. Bagi yang memilih untuk tidak mengucapkan selamat karena keyakinan fiqihnya, hendaknya tetap menjaga adab dan tidak menyalahkan atau mencela mereka yang mengucapkan selamat, begitu pula sebaliknya.
- Dakwah Bil Hal: Jadikan interaksi positif ini sebagai sarana dakwah bil hal, menunjukkan keindahan akhlak Islam dan nilai-nilai kasih sayang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Pada akhirnya, Islam adalah agama yang menghendaki kebaikan bagi seluruh alam. Selama tindakan seorang Muslim tidak mengorbankan akidah dan justru membawa kemaslahatan, kedamaian, serta memperkuat ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), maka ia berada dalam koridor ajaran Islam yang mulia. Wallahu a’lam bish-shawab.