Sriwijaya: Penguasa Asia atau Kekuatan Maritim yang Tak Tertandingi? Menjelajahi Batasan dan Kedalaman Hegemoni Maritim Nusantara
Sriwijaya, nama yang kini menjadi simbol keagungan maritim Nusantara, seringkali dibayangkan sebagai sebuah kerajaan raksasa yang menguasai lautan dan daratan di Asia Tenggara. Namun, pertanyaan apakah Sriwijaya pernah menjadi “penguasa Asia” dalam arti yang sesungguhnya adalah pertanyaan kompleks yang memerlukan pemahaman mendalam tentang sifat kekuasaan pada masa itu, serta batasan geografis dan politis yang melekat pada sebuah thalassocracy atau kekaisaran maritim. Artikel ini akan mengupas tuntas narasi tersebut, menimbang bukti sejarah, dan menempatkan Sriwijaya dalam konteks geopolitik Asia kuno.
Membongkar Definisi “Penguasa Asia”
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “penguasa Asia.” Jika yang dimaksud adalah sebuah entitas politik yang secara langsung menguasai sebagian besar daratan Asia, dari Timur Tengah hingga Asia Timur, dengan kekuatan militer yang mampu menaklukkan dan memerintah wilayah-wilayah luas seperti Kekaisaran Mongol atau Kekaisaran Persia, maka jawabannya jelas: Sriwijaya tidak pernah mencapai skala kekuasaan semacam itu. Kekuatan Sriwijaya, seperti yang akan kita bahas, terletak pada dominasi maritim dan hegemoni perdagangan, bukan pada penaklukan daratan yang masif.
Namun, jika “penguasa Asia” diartikan sebagai kekuatan yang memiliki pengaruh signifikan dan dominan atas jalur-jalur perdagangan vital, mampu membentuk lanskap politik regional, serta menjadi pusat kebudayaan dan agama yang diakui secara luas di sebagian besar benua Asia (setidaknya bagian maritimnya), maka Sriwijaya memang memiliki klaim yang kuat untuk disebut sebagai salah satu kekuatan paling berpengaruh di Asia pada masanya.
Kemunculan dan Fondasi Kekuasaan Sriwijaya
Sriwijaya mulai menampakkan kekuatannya pada abad ke-7 Masehi, dengan Palembang sebagai pusatnya yang strategis. Berbagai prasasti berbahasa Melayu Kuno, seperti Kedukan Bukit (682 M), Talang Tuwo (684 M), Kota Kapur (686 M), dan Karang Brahi (686 M), menjadi saksi bisu awal kebangkitan imperium ini. Prasasti-prasasti ini tidak hanya menguraikan ekspedisi militer dan penaklukan awal di Sumatra bagian selatan dan Bangka, tetapi juga menunjukkan ambisi Sriwijaya untuk memperluas kekuasaannya.
Lokasi geografis Sriwijaya di pesisir Sumatra, dekat dengan Selat Malaka dan Selat Sunda, adalah kunci utama dominasinya. Selat Malaka, khususnya, adalah “urat nadi” perdagangan antara India dan Tiongkok, dua peradaban besar yang menjadi pasar utama bagi rempah-rempah, emas, dan barang-barang eksotis dari Asia Tenggara. Dengan menguasai selat-selat ini, Sriwijaya secara efektif mengendalikan lalu lintas kapal dagang internasional, memungut pajak, dan memastikan keamanan jalur pelayaran dari ancaman bajak laut. Ini adalah fondasi dari kekuatan maritimnya yang tak tertandingi.
Sriwijaya sebagai Thalassocracy: Kekuatan di Atas Ombak
Istilah “thalassocracy” sangat tepat untuk menggambarkan Sriwijaya. Ini adalah sebuah bentuk kekuasaan di mana kekuatan dan pengaruh utama sebuah entitas politik berasal dari dominasi maritimnya, bukan dari wilayah daratan yang luas. Sriwijaya tidak perlu menaklukkan seluruh daratan Sumatra atau Semenanjung Melayu untuk menjadi kuat. Cukup dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis dan jalur-jalur laut kunci, mereka dapat memaksakan kehendak mereka pada kerajaan-kerajaan pesisir dan mengontrol aliran kekayaan.
Melalui dominasi maritimnya, Sriwijaya mampu:
- Mengamankan Jalur Perdagangan: Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya berhasil menumpas bajak laut yang sering mengganggu pelayaran di Selat Malaka. Ini menciptakan lingkungan yang aman bagi para pedagang, menarik lebih banyak kapal untuk singgah dan berdagang di wilayahnya.
- Memonopoli Perdagangan: Sriwijaya memegang kendali atas ekspor dan impor barang-barang berharga seperti rempah-rempah (cengkeh, pala, lada), emas, perak, timah, kapur barus, dan gading. Mereka dapat menetapkan harga dan memungut bea cukai, yang menjadi sumber kekayaan luar biasa bagi kerajaan.
- Menjadi Pusat Distribusi: Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya berfungsi sebagai emporium besar, tempat barang-barang dari Tiongkok bertemu dengan barang-barang dari India dan Timur Tengah, serta komoditas lokal dari Nusantara. Ini menjadikan Sriwijaya simpul vital dalam jaringan perdagangan global.
Jangkauan Pengaruh dan Hegemoni Sriwijaya
Pengaruh Sriwijaya melampaui batas-batas geografis Palembang dan sekitarnya. Sumber-sumber Tiongkok mencatat adanya hubungan diplomatik dan upeti dari Sriwijaya kepada Dinasti Tang dan Song, yang menunjukkan pengakuan Tiongkok terhadap status Sriwijaya sebagai kekuatan regional. Sementara itu, catatan dari pengelana Buddha Tiongkok, I-Tsing, pada abad ke-7, menggambarkan Sriwijaya sebagai pusat penting pembelajaran agama Buddha, tempat ribuan biksu belajar sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Ini menunjukkan peran Sriwijaya tidak hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran dan pengembangan budaya serta agama.
Konsep “mandala” sering digunakan untuk menjelaskan sifat kekuasaan Sriwijaya. Mandala bukanlah kekaisaran dengan batas-batas teritorial yang jelas dan pemerintahan pusat yang langsung mengendalikan setiap jengkal tanah, melainkan sebuah lingkaran pengaruh di mana kerajaan pusat (Sriwijaya) memiliki hegemoni atas kerajaan-kerajaan bawahan atau sekutu. Kerajaan-kerajaan ini mungkin mempertahankan otonomi internal mereka, tetapi mereka mengakui superioritas Sriwijaya, memberikan upeti, dan berpartisipasi dalam jaringan perdagangannya.
Jangkauan hegemoni Sriwijaya diperkirakan meliputi:
- Sumatra: Hampir seluruh pulau, termasuk wilayah pesisir dan pedalaman yang strategis.
- Semenanjung Melayu: Sebagian besar wilayah semenanjung, termasuk Kedah dan Ligor (Nakhon Si Thammarat modern di Thailand selatan), yang penting untuk jalur perdagangan lintas semenanjung.
- Jawa Bagian Barat: Pengaruh Sriwijaya juga meluas ke Jawa Barat, dibuktikan dengan prasasti Kota Kapur yang mengutuk siapa pun yang tidak setia kepada Sriwijaya.
- Kalimantan Barat: Beberapa sejarawan juga mengemukakan kemungkinan pengaruh Sriwijaya di wilayah pesisir Kalimantan Barat.
Dalam konteks ini, Sriwijaya memang menjadi “penguasa” bagi sebagian besar wilayah maritim Asia Tenggara. Ia bukan hanya sebuah kerajaan, melainkan sebuah kekuatan hegemonik yang membentuk ekonomi, politik, dan budaya regional selama berabad-abad.
Perbandingan dengan Kekaisaran “Penguasa Asia” Lainnya
Untuk memahami apakah Sriwijaya adalah “penguasa Asia,” kita perlu membandingkannya dengan kekaisaran-kekaisaran yang secara umum diakui sebagai penguasa Asia dalam skala yang lebih luas:
- Kekaisaran Mongol: Menguasai wilayah daratan yang masif dari Asia Timur hingga Eropa Timur, dengan sistem pemerintahan langsung dan militer darat yang tak tertandingi. Sriwijaya jelas tidak seperti ini.
- Dinasti Tang/Song (Tiongkok): Kekuatan daratan dan maritim yang luas, dengan populasi besar, birokrasi yang kompleks, dan pengaruh budaya yang mendalam di seluruh Asia Timur. Sriwijaya adalah mitra dagang penting Tiongkok, tetapi tidak pernah menjadi kekuatan yang menyaingi dominasi Tiongkok di daratan Asia.
- Kekaisaran Maurya/Gupta (India): Kekuatan daratan yang besar di anak benua India, dengan pengaruh budaya dan agama yang menyebar luas. Sriwijaya adalah penerima dan penyebar budaya India, bukan penguasanya.
Perbandingan ini menegaskan bahwa Sriwijaya bukanlah kekaisaran penakluk daratan yang masif. Namun, perannya sebagai kekuatan maritim yang dominan di jalur sutra laut adalah tak kalah pentingnya. Tanpa Sriwijaya, jaringan perdagangan Asia akan terlihat sangat berbeda, dan aliran kekayaan serta gagasan antarbenua akan terhambat.
Kemunduran dan Warisan Sriwijaya
Meskipun dominan, Sriwijaya tidak abadi. Pada abad ke-11, serangan dari Kerajaan Chola di India selatan melemahkan kekuatan Sriwijaya secara signifikan. Faktor-faktor lain seperti munculnya kekuatan maritim baru di Jawa (seperti Singasari dan Majapahit), pergeseran jalur perdagangan, dan mungkin juga konflik internal, turut mempercepat kemundurannya. Pada akhirnya, Sriwijaya sebagai entitas politik besar menghilang dari panggung sejarah pada abad ke-13, meskipun warisan budayanya, terutama bahasa Melayu sebagai lingua franca, terus hidup dan berkembang.
Kesimpulan: Sebuah Kekuatan Hegemonik, Bukan Penakluk Daratan
Jadi, apakah Sriwijaya pernah menjadi “penguasa Asia”? Jika kita mengartikan “penguasa Asia” sebagai entitas yang menaklukkan dan memerintah sebagian besar daratan Asia secara langsung, maka jawabannya adalah tidak. Sriwijaya tidak pernah memiliki kapasitas militer darat atau ambisi teritorial untuk menyaingi kekaisaran-kekaisaran daratan besar seperti Mongol atau Tiongkok.
Namun, jika kita melihat “penguasa Asia” dalam konteks kekuatan maritim, dominasi perdagangan, dan hegemoni budaya-politik di wilayah yang sangat strategis dalam jaringan perdagangan global Asia, maka Sriwijaya adalah pemain kunci yang tak tertandingi pada masanya. Ia adalah sebuah thalassocracy agung yang mengendalikan urat nadi ekonomi antara Timur dan Barat, menjadi pusat kebudayaan dan agama yang diakui luas, serta membentuk lanskap politik di Asia Tenggara maritim selama lebih dari enam abad.
Sriwijaya tidak menaklukkan Asia, tetapi ia adalah “penguasa laut” yang esensial bagi Asia, sebuah kekuatan hegemonik yang tak terhindarkan dalam aliran barang, manusia, dan gagasan melintasi samudra. Warisannya sebagai fondasi peradaban maritim Nusantara dan penyebar kebudayaan Melayu Kuno tetap menjadi salah satu babak paling gemilang dalam sejarah Asia Tenggara.